Bicara berkah era saat ini mungkin ada 2 kalangan yang beropini terhadap hal ersebut, satu masih anggap ada dan lainnya sudah habis. Hanya terjadi saat rosululloh SAW menjalankan dan mengemban risalahnya. Yang pertama tentu beralasan, apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW adalah bisa juga ditiru dan diambil hikmahnya sebagai sebuah pekerjaan yang hakikatnya Sang Khaliq (Sang Pencipta Alam) merestui. Sementara yang ke-2, sosok nabi dalam arti fisik (basyariyah) sudah tak ada. Semuanya bagus dari sisi argumen, dan yang penting tidaklah satu opini ini mendahului yang lain. Satu opini juga bisa dikatakan benar, yang lain juga tidak salah. Sebut saja dalam tulisan ini yakni Mengambil Berkah Dari Air Wudhu yang tentu saja cahpondokkan lebih suka mengambil acuan dari hadist Bukhori (dimana kajiannya selalu ada dan bila sudah khatam akan diulangi lagi). Contoh ini seperti paparan berikut ini :

hadist ambil berkah dari bejana air nabi

Dari redaksi hadist ini yang masih masuk Bahasan Wudhu dalam sahih Bukhory, seorang sahabat nabi Muhammad SAW mencritakan bahwa mereka mereka yang memiliki sumur dan pernah didatangi Nabi Muhammad SAW menjadikan sumur mereka penuh berkah (barokah). Satu kesempatan rasululloh SAW berwudhu dengan bejana dari sumur salah satu sumur tersebut, maka para sahabat sahabat itu berebutan untuk mengambil berkah (barokah) dari bejana tsb. Yakni dengan cara mengambil sisa sisa air yang masih ada, lalu diusapkan ke wajah atau anggota tubuh para sahabat sahabat tersebut. Bagi yang tidak kebagian, umumnya mereka mengambil usapan dari tubuh sahabat yang terkena lalu diusapkan ke tubuh sahabat yang mengambil itu (belakangan). Dengan demikian sahabat yang terakhir (misal yang ke-3), cukup mengusap sahabat yang ke-2 lalu diusapkan ke tubuh sahabat ke-3 ini,begitu seterusnya.

Bagaimana dengan bejana yang dipakai orang orang salih, orang orang alim seperti kyai, ulama dll. Tentu di kalangan kita (muslimin) kembali ke pembuka tem kali ini tergantung dari sudut (opini) yang mana ?. Jika ingin melakukan yang sama, tentu jatuh di posisi -1 (meyakini hal ini masih ada) karena Nabi SAW melakukan lalu ditiru sahabat. Selesai. Bagi yang tidak meyakini, karena fisik Nabi SAW sudah tiada, maka cukup lah bahwa air wudhu sebatas air wudhu saja. Antara yang-1 dan ke-2 tak perlu dipertentangkan, dan bila masih ada musliin sebagaimana opini-1, maka yang berposisi ke-2 tak perlu mencela atau memberikan penilaian yang buruk. Termasuk juga hadist berikut ini.

rasululloh sembuhkan sakit dengan air wudhu

Juga termasuk hadist diatas, rasululloh menyembuhkan seorang anak putra bibi Saib Bin Yazid RA yang sedang sakit. Rasululloh SAW pun mengusapkan air yang ada dari sebuah bejana ke kepala Saib Bin Yazid RA disaksikan ibunya anak itu (bibi Saib Bin Yazid RA). Meski anak itu tak berada di depan Nabi SAW, namun keberkahan dimintakan rasul via (lewat) Saib RA yang tak lain seorang sahabat nabi. Seketika juga air bekas wudhu rasululloh SAW ini diminum oleh Saib Bin Yazid RA sebegai bentuk mengambil berkah dari bekas air wudhu rasululloh SAW. Keberkahan itu tentu saja, yang paling pokok adalah untuk kesembuhan sepupunya (anak bibinya). Keberkahan lainnya adalah bahwa tubuh rasululloh tak mungkin tersentuh api neraka, sehingga para sahabat selalu mengambil momen ini, apapun sarana dan wujudnya. Bahkan dalam perang Uhud, saat Beliau SAW terluka, ada yang meminum darah bekas lukanya, dan justru tak disalahkan oleh rasululloh SAW. Dengan demikian, keberkahan untuk sembuhnya sakit, bisa tidak langsung ke tubuh yang bersangkutan namun justru via orang (saudara terdekatnya yakni sepupunya bernama Saib Bin Yazid RA).

sebuah lahan pertanian di afrika yang kering

Bagaimana mensikapi ini sementara hal hal ini masuk ranah medis (kesehatan) yang bisa jadi tak masuk akal. Coba lihatlah dalam kisah (tentu riwayat juga dalam Bukhori), Ali Bin Abi Tolib RA yang ditunjuk sebagai komandan perang memimpin sebuah perjalanan jihad ke Khaibar sedang sakit mata. Lalu rasululloh SAW dengan mengusap air ke kedua mata Imam Ali RA langsung sembuh seketika. Tentu menanggapi hal demikian,akan ada 2 opsi yang tentu tak bisa salah satu opsi mengungguli lainnya. Dengan demikian keberkahan sudah dumulai dari utusan Alloh SWT ini meskipun barang barang (benda) itu diluar dari fisik langsung Nabi SAW baik tangan, wajah, kaki dll,\

Kesimpulan : keberkahan itu masih ada walaupun nilai berkurang di masa rasululloh SAW hingga akhir zaman (akhir dunia). Terlebih bila dikaitkan langsung dengan sarana ibadah yang diwajibkan sebut saja seperti wudhu dan seputarnya. Bekas bekas air yang dipakai wudhu akan beda dengan air air yang dipakai hanya sebatas pekerjaan semisal : membersihkan, menyiram, mengalirkan kotoran dll. Bendanya bisa saja sama, keberkahan yang muncul, bisa jadi beda. Kenapa demikian ? karena pernah dilakukan rasululloh SAW.

Seorang pakar tafsir dari Sudan, DrHasan Qudsy pernah menceritakan dalam pengajian tafsirnya bahwa penduduk Afrika  (tentu darerah daerah yang beliau kenal dan singgah) memiliki tabiat beda memperlakukan air bekas wudhu. Karena air yang demikian mahal disana, maka bekas bekas air wudhu itu ditampung sebuah tempat lalu dipakai untuk mengaliri lahan lahan pertanian yang terdekat. Mereka, tentu saja yang muslim meyakini bekas air wudhu meski hidup zaman modern tetap meiliki keberkahan sebab air itu dipakai untuk menyembah Sang Khaliq, dan air ini meski statusnya bekas wudhu toh berbeda nilai dengan air yang lainnya seperti : genangan, air untuk restorasi, air untuk pembersihan dll.


Wallohu A'lam