Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) sudah berlangsung kemarin atau 27 Nopember 2024 serentak di seluruh Indonesia. Baik untuk calon walikota, bupati serta gubernur. Hari ini berbagai QC (Quick Count) sudah edar dengan melebar dan nampaknya beberapa incumben (calon) pemimpin yang didukung oleh mantan presiden RI Bp Jokowi masih berakar kuat baik kelas bupati, walikota dan gubernur. Sampling yang menarik di kota Solo tempat presiden pulang kampung serta Jawa Tengah, juga propinsi mantan presiden pulang kampung. Rupanya konflik internal antara PDI dan keluarga presiden berdampak pada pilkada tahun ini (2024).

calon yang didukung mantan presiden menang telak

Pilkada Membuat Pemilih Makin Bingung dijadikan topik tentu ada persoalan mendasar, kenapa ?. PDI yang berlambang banteng adalah partai terkuat sepanjang pemilu 10 th terakhir, kali ini harus keok menhadapi intervensi mantan presiden yang terkenal dengan cawe cawe nya. Di awali saat putra beliau (Gibran) yang menjadi walikota saat itu yang enggan menyerahkan KTA kepada PDI merupakan titik awal perseteruan dimana PDI sendiri yang awalnya mengangkat nama Gibran serta ayahnya hingga duduk sebagai Solo-1 serta RI-1. Dalam politik memang tak ada kawan abadi atau musuh abadi, yang ada adalah bagaimana kepentingan bergulir. Dengan pilihan dari partai banteng yang seolah berjuang sendirian melawan koalisi partai yang diback up mantan presiden menjadikan pilihan kepada calon pemilih menjadikan kebingungan tersendiri. 

Memilih calon calon yang sebenarnya berbobot sama, katakanlah begitu akan tetapi ada sosok di belakang para calon menjadikan titik nadir bagi para pemilih. Hal ini dibuktikan dengan bertambahnya mereka yang absen (tidak hadir) saat hari H pencoblosan. Dibandingkan 5 tahun ke belakang, para absener ini meningkat cukup tajam. Entah karena apa ? Wallohu A'lam. Yang jelas pendukung partai akar rumput PDI yang fanatik tetap masih terluka dengan konflik internal PDI dengan mantan presiden yang dinilai kurang rasa terima kasih kepada partai yang membesarkannya. Bisa dikatakan kurang pandai bersyukur kepada wadah yang telah menjadikannya orang nomor satu.

Orientasi mempertahankan kekuasaan yang menurut masyarakat agak berlebihan dari mantan presiden yang biasa dipanggil Pak Lurah, inilah yang rupanya menjadi pemantik berkurangnya peminat calon pemilih untuk datang di tempat pemilihan. Meskipun menang dengan mutlak mereka yang didukung oleh mantan presiden  ke-7, menjadikan demokrasi agak tergerus. Memang mempertahankan kekuasaan itu sesuatu yang privat (pribadi sekali). Namun apakah ini bisa dikatakan melanggar hukum ?. Itulah sisik melik yang menjadikan lubang persoalan hukum tidak mampu untuk bicara. Dirasakan ? yaa memang demikian. Akan tetapi perasaan tidak bisa menjadikan delik sebuah aduan untuk diperkarakan. Yang jelas ditunggu saja, masing masing calon menjalankan tugas 5 th mendatang apakah akan lancar jaya atau ada kendala di tengah jalan ?? 

Lain halnya dengan DKI Jakarta, justru banteng menang telak. Kenapa agak beda, nahh inilah PR nya.