Keakraban Membawa Perpecahan...?, apa maksudnya. Tadi pagi ibu saya mengisahkan suaminya ( ayah saya almarhum ) yakni tentang wafatnya ayah saya yang katanya sakitnya masih misteri tanpa diketahui penyakitnya secara pasti. Meski demikian proses wafatnya ayahanda cukup memberikan kesan yang insya Alloh khusnul khotimah, demikian harapan semua manusia yamg hidup secara wajar. Wafat jika tidak salah sekitar tahun 1970, dan saya saat ittu masih berusia 1,5 atau 2 tahunan karena saya lahir sesuai catatan sipil dan KTP bertuliskan 1968. Dan kisah singkatnya sesuai alur cerita dari Ibu, justru diawali dengan keakraban ayah dengan kawan yang betul betul sangat dekat, boleh jadi disebut " sahabat karib ".

Awalnya sahabat ayah ini adalah teman diskusi yang menyenangkan dan hangat bahkan kelewat persahabatan yang sangat cair alias mengalir. Segala permasalahan dan persoalan baik hidup atau proyeksi masa depan, maklum saat itu negara belum stabil benar membutuhkan pemikiran dan ekstra keras disamping pendidikan yang belum memadai. Mengingat kawan ini juga seorang yang ahli agama ( baca alim ) dengan kitab kuning, serta ayah sendiri pernah mondok lebih kurang 10 tahun di Jombang, pernah Ibu sebut mendiang ayah, murid dan tangan pertama Pendiri NU yang sekarang massanya cukup banyak di indonesia bahkan bisa dikatakan mayoritas. Teman diskusi serta cocok dalam segala pembicaraan adalah semua orang mengharapkan itu, bahkan keakraban keluarga masing masing seperti keluarga sendiri. Inilah awal sebuah keakraban dan persahabatan yang diharapkan langgeng.



Kenapa muncul perpecahan...?. Ibu mengkisahkan, bahwa ayahanda seorang yang lugu dan polos meskipun ahli dalam bidang menelaah kitab klasik atau kuning serta kemampuan bahasa arab yang cukup capable ( kemampuan membuat kalimat dengan indah karena menguasai kaidah dan aturan sastra ) saat itu. Sedangkan kawannya seorang dari desa pula namun menduduki Jabatan cukup bergengsi yakni di sebuah instansi pemerintah dengan basic keagamaan. Godaan atau Petaka muncul saat ada sengeta pribadi dan perdata tentang warisan yang dialami kawan ayahanda ( wanita ), lalu wanita ini  meminta ayahanda untuk menyanyakan kawan yang menjadi pejabat penting itu, yang kata Ibu saya  Jabatannya seorang Hakim. Sebenarnya niat baik ayahanda untuk menolong wanita ini memang insya Alloh amal salihnya, karena wanita itu memiliki bagian atau warisan yang cukup besar ( kala itu ) dan wanita ini merasa pembagian belum adil, dan perkiraannya masih ada beberapa nilai yang belum diterima secara total alias masih ada sisa sisa yang diharapkan keluar dan yang tahu itu semua Sang Hakim ini. 

Bagai disambar angin di siang bolong, sang hakim nampaknya beda pemikiran dengan apa yang disampaikan ayahanda. Perkiraannya, jika masalah ini diketahui publik akan berdampak pada jabatannya bahkan karirnya, karena sorang tokoh dan dikenal luas. Maksud baik ayahanda disambut dengan negativ respond, dan karena yang dilapori pejabat yang bergengsi (saat itu), muncullah pikiran pribadinya (demikian Ibu sebut ) : Pilih kalah Wang tinimbang Kalah Wong. Artinya mending kalah uang, daripada kalah orang (harga diri). Mungkin inilah penyebab keretakan dan perpecahan yang akhirnya dengan kekhawatiran tingkat dunia, menurut Ibu saya bahwa Sang Hakim seperti membuat ayahanda berada dalam situasi hingga sakit tiada jelas sebabnya, meski sebenarnya sehat dan sakit Ada Yang Maha Mengatur nya. Namun setan dan pasukannya pun masih gentayangan memenuhi niat jahat seseorang entah via mantera atau bacaan bacaan yang berlebihan yang sangat jauh darai ajaran utama. Mungkin saat itu, secara kasar bisa dikatakan minta jasa dukun untuk  " main santet " atau apalah namanya hingga dokter pun pada cuci tangan, karena secara medis memang tidak terjadi apa apa. Akan tetapi rasa kesakitan menyebabkan, sang ayahanda harus mondok ( opname ) di RS kurang lebih 1 minggu.

Dengan ditunggui sahabatnya saat mondok di Termas Pacitan dulu, dan kakak kakak saya juga masih berstatus sekolah dasar hingga ada yang SMP, tidak bisa saksikan kematian ayahanda. Kata Ibu saya, usai Subuh di hari ketujuh di RS, beliau ingin istirahat sambil dzikir sebentar dan itulah akhir kehidupan beliau dan Ibu mengetahui setelah temu kawannya ( tidak sengaja ) yang naik becak dan langsung memberitakan ikhwal kematian ini. Jenazah lalu diurus oleh seorang pimpinan tariqat yang tersohor saat itu, yakni alm KH Mustain Romly Peterongan dan kyai ini memang pernah menemani atau menjadi bagian guru spiritual  penguasa orde baru. Maklum, jamaahnya cukup banyak dan kewibawaannya di kalangan birokrat cukup dikenal di wilayah Jawa Timur....Allohumaghfirlahu Warhamhu, Ya Alloh Berikanlah Rahmat dan Ampunilah kesalaha kesalahan nya, Amin. Inilah doa yang selalu saya baca usai sholat,  sedang saya saat itu masih belum genap 2 tahun. Script rekaman singkat Ibunda, mungkin lain waktu akan saya postkan ( upload ) juga, mengingat saat ketik tulisan ini di warnet yang masig dalam perbaikan, belum bisa upload memang masalah teknis sekali, ditunggu saja.